POHON YANG HILANG
Oleh : Siska Nur Fatimah
Hembusan angin sore , menerpa pelan
daun yang menjuntai itu. Aluanannya serupa dengan music klasik penghibur hati.
Bergoyang ke kanan dan kekiri mengikuti nuansa angin yang membuainya. Menyapu
perlahan, menggerakan pelan rambut gadis cantik itu.
“
…lima…enam…tujuh…delapan…” sayup-sayup terdengar suaranya didekat jendela itu,
layaknya seorang anak TK yang sedang belajar menghitung dengan jari.
“
Hmm… hari ini cukup banyak. Alhamdulillah, sepertinya cabang si jati bertambah
dua”,katanya menganalisis. Mata bulatnya berbinar menatap buku kecil bersampul
merah jambu dengan gambar bunga sakura berguguran kesukaannya. Buku pink yang
penuh dengan angka-angka.
Aina Mardiyyah,si gadis kecil itu
tersenyum dan menyimpan buku kesayangannya. Kakaknya diambang pintu kamar
adiknya ikut tersenyum. Sulit diartikan senyumnya itu. Antara bangga dan belas
kasihan.
Aina menoleh ke pintu dan mendapati
kakaknya “eh… kakak, sini kak, lihat deh perkembangan pohon-pohon Aina, makin
banyak cabangnya. Itu berarti makin rimbun hutan kita. Itu tandanya juga
Indonesia akan bebas global warming kak”. Kakak rin memperhatikan dengan
baik dan menatap pada binar indah mata adiknya. “Iya dek… Alhamdulillah ya.
Kalau begitu simpanlah buku ini dulu, yuk kita persiapan shalat maghrib”. Ajak
Kak Rin. Aina mengangguk bersemangat. Tersuruk-suruk Aina meletakan bukunya.
***
“Aina…!!! Aina …!!!...dimana kamu
dek ?”,terdengar teriakan Kakak Rin. Hatinya resah, berjalan bolak-balik kesana
kemari Kakak Rin mengkhawatirkan adik semata wayangnya itu. Kakak Rin menduga
Aina ke kebun belakang. Tapi Kakak Rin masih ragu, dicarinya kekamarnya, ruang
tamu, dapur bahkan gudang. Tapi hasilnya nihil.
Diluar angin kencang,pohon-pohon
beradu. Kak Rin panik.
“Brakkkk…!”.
Terdengar suara cabang pohon patah. Diikuti suara teriakan tangis seorang anak
kecil. Mata Kak Rin terbelalak. Segera Kak Rin berlari ke belakang rumah. Dan
mendapati Aina tertindih cabang pohon besar. Cabang yang hampir sebesar paha
orang dewasa itu menimpa tepat di kaki kanan Aina. Segera mungkin Kak Rin
menyingkirkan cabang itu ,dikerahkannya seluruh tenaganya. Dan berhasil. Kak
Rin memeluk dan membopong Aina dan memanggil tetangga untuk membantunya.
Sebelum kejadian itu sebenarnya Aina
sudah akan pulang ,tapi ia belum selesai menghitung pohon-pohonnya. Ia masih
ingin menyelesaikan menghitung, namun naas bagi Aina ketika akan pulang ,satu
pohon berderit dan mengejutkannya,satu cabang besar patah dan menimpanya.
***
Kejadian satu minggu lalu tak
menyurutkan semangat Aina untuk kembali
menghitung pohon-pohonnya.
“Kak, kok sejak kemarin Aina selalu
salah menghitung ya ?. Apa mata Aina mulai minus ?.Dari kemarin cabang nya
selalu berkurang padahal kan harusnya selalu bertambah”. Kata Aina pada Kak
Rin. Kak Rin berhenti sejenak merapikan buku-buku catatanya dan tercenung “Hmm … masa si dek ?. matanya
suka perih kah ?”. Jawab Kak Rin.
“Nggak si kak, Cuma kok aneh aja ya
, pohon Aina berkurang terus, besok kita periksa mata yuk kak, ke optik Bang
Idun”. Celoteh Aina. Kak Rin tersenyum
kecut tanpa mengangguk. Sebenarnya ia sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi.
***
Sore itu…
Aina bersemangat mengambil buku
catatan nya dan satu pena kesayangannya. Aina duduk manis di kursi cokelat itu.
Dengan tatapan yang pasti menuju jendela samping tempat tidurnya yang sangat
kebetulan menghadap tepat ke kebun belakang rumah dimana pohon-pohonnya berada.
Aina mulai menghitung. Satu kali
menghitung ia merasa ada yang salah, dua kali, masih saja ia belum yakin. Kali
ini dia benar-benar kesal dan bingung. Berdasarkan catatan risetnya kemarin
harusnya si jati minimal bertambah satu cabang, dan tinggi si mahoni harusnya
sudah bisa menyamai si jati. Tapi kali ini ia bingung. Berkali-kali ia
menghitung dengan berulang kali melihat ke buku catatannya. Benar-benar
penurunan yang drastic.
Kak Rin diam-diam memperhatikan Aina. Sebenarnya
Kak Rin paham apa yang terjadi pada pohon-pohon Aina. Tapi ia bingung bagaiaman
menjelaskannya pada Aina. Kak Rin tidak ingin membuat Aina sedih. Dengan perasaan
kasihan ia menghampiri Aina.
“ Bagaimana dek ? makin banyak kah
pohonnya”. Tanya Kak Rin pada AIna.
“
Hmm… semakin hari semakin berkurang kak, entahlah… cobalah kak telitilah
tulisan Aina ini adakah yang salah ?. Kenapa bisa hari kemarin dan hari ini
berkurangnya banyak sekali”. Kata Aina dengan raut wajahnya yang terlihat
sangat sedih.
“ Tulisan Aina sudah betul
kok,InsyaaAllah”. Kata Kak Rin menghibur.
“
Yang salah adalah kita”. Aina memperhatikan Kak Rin. Kak Rin menatap ke
jendela, kemudian ke pohon-pohon itu. U belum paham apa maksud kata-kata Kak
Rin. “ ya dek… kita manusia yang salah, kita selalu bersifat serakah. Tanpa
mempertimbangkan baik dan buruk. Hanya memperhatikan bagaimana kebaikan untuk
diri sendiri. Tidak memikirkan akibat buruk kita untuk orang lain. Tidak juga
untuk Bumi”. Kak Rin menghentikan bicaranya. Membiarkan Aina mencerna kata demi
kata darinya, berharap Aina paham apa yang ia maksudkan tanpa membuatnya
bersedih hati.
Aina adalah gadis cerdas, ia paham
kata-kata kakaknya. Aina paham bahwa pohon-pohon istimewa miliknya pasti sudah
diangkut ke kota oleh truk truk bertubuh besar warna kuning dan merah itu. Ia
selalu mendengar derunya setiap menjelang ia tidur siang.
“ Kalau begitu mari kak ,kita berbuat lebih untuk bumi”,kata Aina
lirih dengan menahan air matanya. Aina bertekad akan berbuat yang terbaik untuk
bumi, ia akan menjadi sahabat sejati buminya,ekosistemnya. Dalam hati masing-masing mereka berjanji
bahwa bumi adalah bagian hidupnya. Tidak
akan ada lagi satu pohon yang hilang karena kebiadaban dan keserakahan manusia
, yang ada adalah indahnya senyum bumi karena romantisme keseimbangan manusia memperlakukanya.